Kamis, 27 Juni 2013

Saka (2)

Tepat jam 2 aku sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta, bandara memang tidak begitu padat hari ini. Mungkin karena bkan masa-masa liburan. Teleponku berbunyi ketika aku selesai mengambil tas dan menuju taksi.
“kamu sudah sampai nak?” suara halus ibuku terdengar sedikit khawatir
“sudah bu, baru saja”
“kamu nda papa nak? Kalo memang nda bisa menjalankan permintaannya ya nda usah kamu paksakan” Ibuku memang sangat mengerti aku, perempuan keturunan Jawa yang sangat lemah lembut tetapi tegas. Ketegasan ini juga yang diturunkan ke aku. Sedangkan bapakku adalah keturunan sunda dengan percampuran darah oriental.
“bisa bu, Daliani kan sudah janji. Ibu jangan khawatir ya, semuanya sudah dipersiapkan” Bayangan kejadian yang membuatku mempunyai janji seperti ini terulang. Aku menggelengkan kepala, berharap semua bayangannya terkubur lagi.
Perjalanan menuju rumah  terasa begitu lama,kemacetan yang memang tidak akan pernah hilang dan sudah menjadi stereotype di Jakarta. Jadi aku tidak akan megeluarkan energiku untuk mencaci jalanan disini. Sudah hampir malam ketika aku sampai dirumah,  Ibu yang datang menyambutku ketika aku masuk. Maklum saja, hanya aku dan ibuku yang tinggal berdua di rumah ini.
“Dali, tadi ada telepon dari Eliana. Kamu nda kasih kabar ke dia?”
“lupa bu, dari kemarin Dali cuma kasih kabar ke ibu saja” Bukannya aku sengaja mengacuhkan pesan dari Eliana yang masuk ke handphoneku, tapi dengan waktu yang sedikit dan penjelasan panjang yang harus aku berikan ke Eliana membuatku memutuskan membalas pesannya nanti saja.
“Bagaimana hasilnya kemarin? Kapan pengerjaannya nak?”
“belum sampai tahap itu bu, kemarin Dali dan team dari Saka baru membahas konsep awalnya saja. Rencananya kami harus bertemu lagi, cuma Dali bingung bu. Kan di kantor juga Dali punya tanggung jawab besar. Bagaimana ya ini bu?”
Aku memang sangat bingung dengan jadwal-jadwal yang harus aku sediakan untuk mengurus rencana besar ini, sedangkan di kantor aku masih punya banyak pekerjaan yang pasti tertunda jika harus banyak meminta cuti.
“nah itu juga yang ibu pikirkan Dali, makanya kemarin ibu minta kamu jangan memaksakan kalau memang nda bisa. Memang kamu nda bisa minta sama Eliana yang pergi melihat keadaan di Bali? Atau kalau memang kamu mau, ibu yang akan bantu mengurus semuanya”
“kalau ibu yang pergi Dali ngga mau bu, Dali ngga mau ibu kecapean karena hal ini. Nanti coba Dali usahakan untuk minta Eliana membantu” kataku menutup pembicaraan ini. Aku yakin ibu mengerti sikap keras kepalaku, karena itu ibu juga memilih diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar