Tepat jam 2 aku sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta,
bandara memang tidak begitu padat hari ini. Mungkin karena bkan masa-masa
liburan. Teleponku berbunyi ketika aku selesai mengambil tas dan menuju taksi.
“kamu sudah sampai nak?” suara halus ibuku terdengar sedikit
khawatir
“sudah bu, baru saja”
“kamu nda papa nak? Kalo memang nda bisa menjalankan
permintaannya ya nda usah kamu paksakan” Ibuku memang sangat mengerti aku,
perempuan keturunan Jawa yang sangat lemah lembut tetapi tegas. Ketegasan ini
juga yang diturunkan ke aku. Sedangkan bapakku adalah keturunan sunda dengan
percampuran darah oriental.
“bisa bu, Daliani kan sudah janji. Ibu jangan khawatir ya, semuanya
sudah dipersiapkan” Bayangan kejadian yang membuatku mempunyai janji seperti
ini terulang. Aku menggelengkan kepala, berharap semua bayangannya terkubur
lagi.
Perjalanan menuju rumah
terasa begitu lama,kemacetan yang memang tidak akan pernah hilang dan
sudah menjadi stereotype di Jakarta. Jadi aku tidak akan megeluarkan energiku
untuk mencaci jalanan disini. Sudah hampir malam ketika aku sampai dirumah, Ibu yang datang menyambutku ketika aku masuk.
Maklum saja, hanya aku dan ibuku yang tinggal berdua di rumah ini.
“Dali, tadi ada telepon dari Eliana. Kamu nda kasih kabar ke
dia?”
“lupa bu, dari kemarin Dali cuma kasih kabar ke ibu saja”
Bukannya aku sengaja mengacuhkan pesan dari Eliana yang masuk ke handphoneku,
tapi dengan waktu yang sedikit dan penjelasan panjang yang harus aku berikan ke
Eliana membuatku memutuskan membalas pesannya nanti saja.
“Bagaimana hasilnya kemarin? Kapan pengerjaannya nak?”
“belum sampai tahap itu bu, kemarin Dali dan team dari Saka
baru membahas konsep awalnya saja. Rencananya kami harus bertemu lagi, cuma
Dali bingung bu. Kan di kantor juga Dali punya tanggung jawab besar. Bagaimana
ya ini bu?”
Aku memang sangat bingung dengan jadwal-jadwal yang harus
aku sediakan untuk mengurus rencana besar ini, sedangkan di kantor aku masih
punya banyak pekerjaan yang pasti tertunda jika harus banyak meminta cuti.
“nah itu juga yang ibu pikirkan Dali, makanya kemarin ibu
minta kamu jangan memaksakan kalau memang nda bisa. Memang kamu nda bisa
minta sama Eliana yang pergi melihat keadaan di Bali? Atau kalau memang kamu
mau, ibu yang akan bantu mengurus semuanya”
“kalau ibu yang pergi Dali ngga mau bu, Dali ngga mau ibu
kecapean karena hal ini. Nanti coba Dali usahakan untuk minta Eliana membantu” kataku menutup pembicaraan ini. Aku yakin ibu mengerti sikap keras
kepalaku, karena itu ibu juga memilih diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar