Jumat, 11 Oktober 2024

Merdeka

Akhirnyaaa setelah 4 tahun, jiwaku merdeka!

Rasa sakit bertubi-tubi atau lebih tepatnya menyiksa diri sendiri demi pelajaran aku berhasil hentikan.

Tidak ada kata terlambat ya seharusnya.

Kecewa sedih adalah rasa patut dirasakan tapi telah hilangnya pertanyaan “Kenapa?” menjadi kemajuanku mengontrol diri.

Terminologi yang tepat aku dapatkan 5 hari yang lalu.

Buah tangan yang aku berikan terlihat tidak cocok di tempatnya meletakkan.

Kupandang cukup lama sampai akhirnya aku sadar itu aku yang sedang diposisi.

Tempatnya kurasa dewasa yang mutlak sedangkan barang itu cikal bakal mimpi yang naif.

Indah namun yaa bukan disitu tempat yang cocok.

Ada tempat lain yang aku yakin yang bisa menerimanya  dan membuatnya semakin bersinar dengan pesonanya sendiri.

Sempat berat tetapi yaa akhirnyaa menjadi ringan. 

Minggu, 30 Januari 2022

Waktu dini Hari

Tiba-tiba dadaku terasa sesak
Keringat dingin mengucur deras
Tanganku gemetar, terasa kebas dan dingin
Nafasku bisa dihitung satu... satu... satu...
Tangisku pecah karena panik dan takut

Dengan putus asa aku mengingat-ingat siapa yang bisa membantuku
Lalu bayanganya muncul, pria yang tadi malam sempat bersamaku.

Menimbang-nimbang mengusir enggan
Nekad aku meneleponnya dengan tidak berekspektasi dia akan mengangkat

Bunyi nada sambung cukup lama, hingga akhirnya aku memutus sambungan itu.
Ternyata memang harus aku hadapi sendiri

Mencoba menenggak air putih tetapi perasaan panik tidak kunjung mereda

Selang 30 menit berlalu, getaran di handphoneku mengagetkanku
Seketika namanya tertera penuh dilayar handphoneku

"Mas tolong aku... aku tidak bisa bernafas" isakku dengan nafas tersengal tanpa berbasa-basi
"Kau kenapa? coba tenang dulu" Jawabnya dengan nada kaget dan panik
"Aku tidak tau Mas, tiba-tiba aku sulit bernafas lalu tanganku dingin gemetar. Aku takut Mas"
"Coba kau tenang dulu... ada air putih disekitarmu? coba minum pelan-pelan" katanya sudah menguasai intonasi yang lebih menenangkan
"Sudah Mas, tapi tetap saja aku susah bernafas" kataku masih dengan isak tangis
"Kau kenapa tiba-tiba seperti ini? Kau mau aku datang menemanimu? Atau begini saja, kau tunggu dan coba minum air putih. Aku akan siap-siap ketempatmu. Ada baiknya kita mencari sarapan dan minuman hangat"

Singkatnya tidak beberapa lama dia datang. Dengan ditemani kepulan asap rokok aku melihatnya duduk, segera aku datangi dengan tidak lagi hanya tanganku yang gemetar tetapi juga tubuhku.
Dia memandangiku, aku membalasnya dengan sisa-sisa air mata masih menumpuk.
Lalu dia mengulurkan tangannya untuk meminta tanganku memegangnya

"Kau masih gemetar" katanya singkat
Lalu buru-buru dia mengajakku berkeliling, dia lontarkan candaan yang tidak ayal menghiburku.
Kami berjalan beriringan dari gelapnya pagi buta hingga matahari mulai memancarkan cahaya serta menguarkan panasnya.
Rasanya ringan dan menyenangkan

Lalu dalam hitungan beratus-ratus jam kami pun berpisah...

p.s : Tulisan ini aku buat ketika mengingat-ingat tentang jalan pagi serta udara Jogja.

Pendaratan Satu Kali

 Aku datang terlalu pagi hari ini.

Lampu-lampu masih belum ada yang dinyalakan, gelap.

Kubikel meja-meja pun masih kosong, sunyi.

Sebelum mulai bekerja aku ambil air di galon terdekat, setidaknya bunyi air yang mengucur ke gelasku membuat bunyi-bunyian semarak sambil lalu.

Duduk dikursi lalu mulai menyalakan laptop, membuka email yang bakal dijadikan bahan prioritas pekerjaan hari ini. Senin selalu penuh email, keluhku dalam hati.

Aku berpaling kearah jam hitam yang melingkar ditanganku. Oh waktu kerja belum dimulai kok... Aku masih punya waktu yaa sekitar setengah jam.

Aku pun membuka website-website berita, berharap ada tambahan warna di hari ini.

Scroll... scroll... scroll...

Sebuah bus menabrak jalan dan sang supir mencoba melarikan diri, Kapal induk Militer Inggris siaga serang Rusia, Lelaki Jakarta temukan cara menumbuhkan rambut dalam hitungan hari, sampai yang paling basi yaitu berita sepasang selebriti muda baru saja jadian.

Akhirnya aku membuka email pribadiku, dipenuhi info-info TV kabel, sosial media, tagihan kartu kredit. 

Sampai akhirnya aku berhenti di satu email, email baru dengan nama pengirim yang asing.

"Hi Terima kasih sudah mendarat di page blog saya" Isi emailnya singkat

Aku memutar otakku, page yang mana yang dimaksud. Terlalu banyak blog yang aku baca diwaktu senggangku yang berlimpah. Lalu aku mengklik tautan yang ada di emailnya, ternyata blog yang aku kunjungi akhir tahun kemarin. Blog yang dipenuhi cerita-cerita membuatku serasa memasuki dunianya. Berkesan namun tidak memabukkan.

Aku mulai mengetik balasan email itu...

Satu kata dua kata hingga terbentuk satu kalimat...

Sabtu, 21 Agustus 2021

They Call Me Babu

 -They Call me Babu-


Film dokumenter hitam putih yang bersetting sekitar tahun 1940an antara Jakarta, Bandung dan Jogja dengan durasi kira-kira 1 jam hasil arahan dari Sandra Beerends.

Sepanjang film kita dibuat menyatu dengan tampilan adegan per adegan dengan bantuan Narator.


Bahasa narasi yang unik dengan pembawaan suara yang tidak kalah menarik membuat kita semakin larut dengan isi cerita.

Sudut pandang seorang wanita bernama Alima yang sempat menjadi pembantu (Babu dalam bahasa kolonial) yang loyal mengabdi dengan satu keluarga Belanda.


Kehidupan zaman dulu terlihat jelas, dari suasananya, senyum ceria anak-anak masa itu, Candi Borobudur tempo dulu, Pak Soekarno masa muda, Indonesia menuju kemerdekaan dan banyak hal menarik yang memang membuat kita tidak bosan menontonnya.


Ga usah terlalu banyak yaa aku ceritakan, yang jelas film ini memang wajib tonton ! 


p.s : Terima kasih Mas Farid atas rekomendasi filmnyaa 🙂🙏🏻

Kemarin² aku nonton gratis di https://filmpixs.com/

Rabu, 18 Agustus 2021

Bebas

Aku duduk diam memandangi masakan yang sudah dingin.

Aku melihat jam didinding, tepat jam 10.00. Cukup malam jika dia beralasan bertemu klien.

Sudah berkali-kali aku memintanya pulang tepat waktu tapi dia memilih mengulur waktu diluar.

Kuakui memang sudah menjadi resikoku, dari awal sudah di prediksi seperti ini. Tapi sikapnya kala itu membuatku luluh juga menerimanya dengan mudah.

Akhirnya aku membuang semua masakan yang telah aku siapkan, sama seperti hari-hari kemarin dengan tekad mengabdi aku tetap menyiapkan sepenuh hati tetapi selalu berakhir di tempat sampah.

"Iya memang sebaiknya disudahi saja" kataku memandangi gelas yang berisi teh setengah hangat ditanganku

"Bagaimana orangtua mu?" tanyanya ketika sempat terdiam beberapa saat

"Tidak usah dipikirkan. Itu urusanku" Memandang wajahnya saja rasanya aku sudah enggan

Kami sama-sama diam.

Kembali kebeberapa tahun yang lalu dimana aku baru mengenalnya. Dengan masa lalunya yang berbanding terbalik dariku, aku menerimanya dengan ikhlas dengan harapan itu semua masa lalu. Ternyata aku salah, apa yang menjadi peringatan dari sahabatku aku abaikan.

'Semua orang punya masa lalu' selalu itu yang menjadi kilahku.

Setahun, dua tahun hingga lima tahun dengan sempat beberapa kali aku keguguran dikarenakan menahan beban mental yang diciptakannya. Tidak pernah sekalipun dia bisa 'memelukku'.

Dia hanya datang ketika meminta bersetubuh, dengan wajahnya yang bernafsu dan tidur sebagai penutupnya. Yah... aku hanya sebagai tempatnya melepas nafsu sesaat yang lantas dilanjutkannya diluar rumah. Entah hanya beberapa kali atau sering kali.

Perbedaan prinsip aku sebagai wanita konvensional membuat dirinya bosan. Sering kali dia mengatakan, "Kau terlalu lurus, membosankan". Awalnya aku menganggap itu bentuk candaan tetapi lama-lama aku memahami itu isi hatinya.

Akhirnya aku memilih menjadi jiwa yang bebas. Aku ingin menata hidup, menyambut pagi dengan tidak sabar dan tertidur lelap tanpa menunggu-nunggu dia yang tidak pulang dan membiarkan tempat tidur sisi sebelah kiriku kosong.


Senin, 02 Agustus 2021

1986

 

Kembali ke tahun 1986.
Ketika kau menjemput dengan mobil bapakmu yang berbentuk kotak dan bewarna abu-abu metalik.
Niatmu mengantarku pulang kerumah dimalam hari, biar aman alasanmu.

Sambil sesekali kepala kita bergoyang ke kanan kekiri mendengarkan lagu.
Tiba-tiba ada motor begundal rapat ke mobilmu, membuat konsentrasimu buyar

"Sialan!!!," umpatmu kencang yang walaupun percuma tidak didengar si begundal.

Aku tertawa geli, bisa juga kau sekesal itu

Lalu kami mendengarkan kembali lagu berbeda dari kaset pita yang terus berputar.

🎙 : Savage Night at the Opera - Destroyer

Potensi dan Wawasan

 "Lulusan Universitas mana?"

Pertanyaan ini pasti sering banget kan ditanyakan kita atau orang lain ketika kita terlibat percakapan. Entah bermaksud basa-basi atau sekedar sebagai tolak ukur seberkualitas apa kamu atau mereka di mata kita sebagai masyarakat. Ga dipungkiri, aku salah satu yang sempat mempertimbangkan hal itu juga penting.

Tapiii pertanyaan itu salah satu pertanyaan yang tidak lagi aku tanyakan ke orang lain sebagai validasi sejak 5-6 tahun yang lalu. Banyak pertanyaan yang aku tidak lagi gunakan sehari-hari.

Karena dengan bertambahnya umurku (baca : semakin tua) aku semakin yakin kalau kualitas seseorang ga melulu lulusan universitas mana pun. Tapi karena dirinya memang selalu upgrade knowledge dan lain-lainnya sampai dia punya value yang ga kalah sama yang lulusan manapun.

Banyak orang yang membuat aku kagum dengan kegigihan mereka.

Jadi intinyaa jalan hidup masing-masing orang berbeda-beda, ada yang beruntung atau rezekinya bisa dapet pendidikan sampai setinggi-tingginya. Nah aku yakin yang belum bisa untuk mencapai itu bisa ditunjang dengan terus menggali potensi dan wawasan yang luas.