Cafe ini memang remang-remang dan aku pun sengaja memilih duduk disudut yang tidak banyak pengunjung lainnya. Dari sini aku dapat mengamati sekelilingku dengan leluasa. Kebanyakan pengunjung disini memiliki satu persamaan, yaitu mereka semua berwajah muram.
Sampai aku melihat seseorang wanita, dia terlihat berbeda, yang masih dapat tertawa dengan lepas.
Tidak berapa lama dia mendatangiku dan bertanya
“bolehkah aku duduk disini?”
Aku mengiyakan karena aku sendiri tidak keberatan untuk ditemani
“aku bosan dengan mereka” katanya tiba-tiba
Tatapan bingungku untuknya, membuat dia menjelaskan arah pembicaraannya tadi.
“iya, aku bosan dengan orang-orang itu” sambil dia menunjuk kerumunan orang yang tadi ditinggalkannya
“bukankah tadi kau tertawa bersama mereka?”
“aku bosan dengan tingkah pola mereka. Mereka tidak kunjung melepaskan topeng yang sedang mereka kenakan”
“mengapa kau bisa berkata seperti itu?”
“aku seorang wanita penghibur. Telah banyak menemui berbagai macam orang, jadi aku dapat dengan mudahnya mengetahui seperti apa mereka sebenarnya”
Hening... aku merasa canggung, sedangkan dia menghirup perlahan rokok yang dihisapnya.
“tahukah kau sejak kapan aku menjadi wanita penghibur?”
Aku menggelengkan kepalaku
“sejak ibuku berkata, jualah harga dirimu nak”
Dia menghembuskan asap rokoknya, dan berlalu pergi.
***
Aku duduk disisi ibuku yang sedang sakit, dengan air mata yang tidak dapat kutahan.
“mengapa kau menangis nak?” ibu bertanya ketika melihat wajahku dan air mataku
“tidak bu, aku hanya teringat kata-kata yang sering ibu ucapkan untukku, bahwa jagalah terus harga diriku”
Sampai aku melihat seseorang wanita, dia terlihat berbeda, yang masih dapat tertawa dengan lepas.
Tidak berapa lama dia mendatangiku dan bertanya
“bolehkah aku duduk disini?”
Aku mengiyakan karena aku sendiri tidak keberatan untuk ditemani
“aku bosan dengan mereka” katanya tiba-tiba
Tatapan bingungku untuknya, membuat dia menjelaskan arah pembicaraannya tadi.
“iya, aku bosan dengan orang-orang itu” sambil dia menunjuk kerumunan orang yang tadi ditinggalkannya
“bukankah tadi kau tertawa bersama mereka?”
“aku bosan dengan tingkah pola mereka. Mereka tidak kunjung melepaskan topeng yang sedang mereka kenakan”
“mengapa kau bisa berkata seperti itu?”
“aku seorang wanita penghibur. Telah banyak menemui berbagai macam orang, jadi aku dapat dengan mudahnya mengetahui seperti apa mereka sebenarnya”
Hening... aku merasa canggung, sedangkan dia menghirup perlahan rokok yang dihisapnya.
“tahukah kau sejak kapan aku menjadi wanita penghibur?”
Aku menggelengkan kepalaku
“sejak ibuku berkata, jualah harga dirimu nak”
Dia menghembuskan asap rokoknya, dan berlalu pergi.
***
Aku duduk disisi ibuku yang sedang sakit, dengan air mata yang tidak dapat kutahan.
“mengapa kau menangis nak?” ibu bertanya ketika melihat wajahku dan air mataku
“tidak bu, aku hanya teringat kata-kata yang sering ibu ucapkan untukku, bahwa jagalah terus harga diriku”